Perjalanan ini melelahkan, berkelit di antara truk dan bus, dibuai elok tanah Priangan dan angin laut di pesisir pantai utara Jawa. Hanya untuk menemui kisah tentang rakyat yang kalah.
Tanggal 1 Januari 1808. Kapal Virginia merapat di Anyer. Gubernur Jenderal Hindia Timur Herman Willem Daendels untuk pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa. Sejak hari itu, Jawa tidaklah sama.
Perubahan dimulai dari sebuah jalan: Anyer-Panarukan sepanjang 1.100-an kilometer.
Lebih dari sekadar jalan untuk mengantisipasi serangan Inggris dari utara Jawa, menurut Werner Rutz (Cities and Towns in Indonesia, Berlin, 1987), jalan ini telah menumbuhkan kota-kota baru, misalnya Pacet, Plered, Weleri, Sidoarjo, Gempol, Bangil, dan Kraksaan.
Pengajar tata kota Universitas Gadjah Mada Sudaryono menyebutkan, kota-kota baru itu semula adalah pasar kecil yang diuntungkan dari lokasinya di persilangan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg). Kota-kota tumbuh memanjang mengikuti jalan.
Kini, hampir separuh penduduk Jawa berdiam di kota-kota tersebut. Namun, pada saat yang sama, itu juga menjadi pipa pengisap kekayaan tanah Jawa ke Batavia untuk kemudian dikirim ke pasar dunia.
Pengisapan kekayaan itu mencapai puncaknya ketika Van Den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) di tahun 1830. Pada era inilah, Jalan Raya Pos menemukan fungsi besarnya: menyedot kekayaan Jawa.
Dalam catatan Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963), upaya Belanda meraih pasar dunia dilakukan dengan mempertahankan pribumi tetap pribumi. Sistem yang dikenal sebagai ekonomi mendua: pembangunan dengan mengisap pihak lain.
Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam, 1989) menyebutkan, di tingkat desa pengisapan dilakukan pemilik tanah dan perangkat desa yang menjadi pemungut pajak dan mandor. Jawa menjadi perkebunan besar dengan aristokrasi pribumi dan elite desa sebagai kaki tangan Belanda.
Enam puluh tahun setelah kedatangan Daendels, seorang asisten residen Belanda di Banten, Douwes Dekker, menuliskan penderitaan rakyat akibat ekonomi pengisapan itu.
Tuan dan kuli
Dari tanah Multatuli—nama samaran Douwes Dekker—perjalanan ini bermula. Tahun 1860, Douwes Dekker menulis Max Havelaar, kitab tentang derita rakyat yang diisap penguasa. Fragmen Saijah-Adinda dalam Max Havelaar kembali nyata saat mendengarkan kisah petani-petani Banten tentang jawara dan tentara yang memaksa mereka melepas tanah dengan harga murah untuk dijadikan areal industri sejak era 1970-an.
Di Serang dan Tangerang, perjumpaan dengan para buruh pabrik makin mengingatkan pada sistem ekonomi pengisapan warisan kolonial. Ratno, buruh di Serang, mengisahkan, mereka harus membayar kepada para jawara hingga Rp 3 juta untuk kontrak kerja di pabrik selama setahun. Jawara adalah wajah Banten paling purba yang masih nyata hingga saat ini, yang menjadi penghubung antara dua kutub: kuli dan majikan.
Melewati Puncak Pas, mata sempat disegarkan oleh rimbun pepohonan yang masih tersisa dari gambaran tentang keindahan Tanah Priangan. Namun, di balik elok alam dan mojang Priangan, tersimpan kisah tentang petani yang menjadi buruh di bekas tanahnya sendiri. Sebagian besar lahan pertanian di sini telah dimiliki tuan tanah dari kota, terutama dari Jakarta.
Turun dari Cadas Pangeran, tempat ribuan korban pekerja tewas dalam pembangunan Jalan Raya Pos, perjalanan memasuki pantai utara. Cirebon adalah gerbangnya.
TD Sujana, sejarawan Cirebon, menyebutkan, kota ini dibangun dari tebu dan air gula. Pada masanya tebu-tebu dari Cirebon merajai pasar Eropa. Legit air tebu yang diperas dari air mata petani. Menemui petani-petani tebu di Cirebon saat ini serasa disedot ke masa dua abad lalu pada kondisi yang digambarkan Jan Breeman (Control of Land and Labour in Colonial Java, Foris Publication, Holand, 1983).
Jan menulis, di Cirebon Timur pada akhir abad ke-18, tebu merupakan hasil pribumi yang wajib disetorkan kepada VOC.
Semarang, kota yang pernah menjadi bandar besar itu, meredup, menyisakan kota lama yang sekarat oleh hantaman rob dan penurunan muka tanah.
Pati-Rembang-Lasem menjadi kota pesisir yang miskin. Hampir tak ada yang tersisa dari masa lalu, selain ladang garam dengan buruh-buruh yang merana.
Hanya di Juwana, Pati, harapan sedikit muncul, yaitu ketika melihat nelayan Desa Bendar yang tinggal di rumah- rumah gedongan.
Di Tuban dan Gresik, harapan juga berseri ketika melihat pabrik-pabrik menjulang. Namun, kemiskinan ternyata tetap tak terusir.
Titik akhir
Di Porong, Sidoarjo, segala haru-biru pun tumpah: saat melihat rakyat Siring Barat, yang hidup berdampingan dengan maut. Mereka tinggal di tanah yang bergolak, dibekap gas beracun, dihantui bunyi tembok retak dalam tidur. Mereka kehilangan rumah, tanah, masjid, kuburan, bahkan masa depan. Hingga dua tahun sejak lumpur menyembur, tak ada kepastian untuk pindah ke tempat lain.
Di Porong, sejarah 200 tahun Jalan Raya Pos, tamat riwayatnya. Pemerintah saat ini telah merencanakan untuk membangun jalan baru, menggantikan Jalan Raya Pos, untuk melanjutkan jalan itu hingga ke Panarukan.
Dalam tulisan Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam/Belanda, 1989), citra Jawa awal abad ke-19 adalah kemiskinan dan kemandekan. Pulau ini dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah kecil dan jutaan kuli yang berusaha untuk bisa hidup di perkotaan yang padat penduduknya.
Dua ratus tahun kemudian, gambaran suram itu ternyata tak beranjak pergi.
disadur dari kompas.com
Monday, October 27, 2008
Jalan Raya Pos, 200 Tahun Pengisapan
Posted by ~||* Abay.Kun at 8:59 PM
Labels: Catatan perjalanan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Wah panjang banget bay... itu lewat desamu po? Desa Tuban... Jangan2 di Tuban itu yg aspalnya jelek banget yah?
Yoi man..maklum kabupaten tandus. Tp tetep aja..tanah kelahiran selalu jadi kenangan.
Post a Comment