Indonesia adalah negeri budak.
Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.
-Pramoedya Ananta Toer, dalam Novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels-
______________
Melintasi bayang gelap dari rerimbunan deretan pohon-pohon asam jawa bak melintas lorong waktu menuju masa lalu. Seolah kembali ke sekitar 200 tahun silam, menemukan kembali artefak lama tentang Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) ”bikinan” Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels.
Awalnya adalah Anyer di barat yang dijejak Daendels 1 Januari 1808. Ujung satunya adalah Panarukan, 1.100-an km ke arah timur. Keduanya telah menjadi titik penting pembangunan jalan raya ”trans Jawa” yang menghubungkan pulau ini sebagai sebuah kesatuan. Dengan rampungnya Jalan Raya Pos, waktu tempuh Batavia ke Surabaya dari sebulan di musim kemarau terpangkas menjadi 3-4 hari saja.
Adalah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang berkuasa di Hindia Belanda sepanjang 1808-1811 yang "memulai" pembukaan "trans-Jawa" itu.
Awalnya, Jalan Raya Pos diperuntukkan bagi kepentingan administratif para penguasa. Gerobak atau cikar milik rakyat tidak boleh lewat. Berawal dari keinginan untuk menyiapkan sistem pertahanan dari kemungkinan serangan Inggris; Jalan Raya Pos sekaligus berperspektif ekonomis. Dasar pemikirannya: hanya dengan akses transportasi yang baik, sumberdaya bisa lebih mudah "disedot" ke pusat pemerintahan Hindia Belanda.
Pesona Jawa
Di masa lalu, Jawa memang ibarat "permata". Sumberdaya yang berlimpah terbukti bisa dikuras untuk mengapungkan negeri Belanda. Pendukung utama dari perkembangan dan pertumbuhan ekonomi itu adalah sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diperkenalkan oleh Van Den Bosch pada 1830.
Beberapa komoditas ekspor utama dan yang sengaja dipilih karena laku di pasar Eropa dan dunia adalah kopi, gula, teh dan tembakau. Hingga paruh awal abad ke-20, kopi terus berkembang menjadi komoditas andalan pemerintah Kolonial Belanda bersama-sama dengan teh, gula pasir, dan tembakau.
Belanda bak mendulang "emas hijau" dari sistem itu. Apalagi komoditas unggulan seperti kopi, gula, teh dan tembakau asal Jawa terus menanjak menjadi primadona di pasar dunia. Masa tanam paksa telah menjadikan Jawa sebagai pemasok sumberdaya yang luar biasa. Dari semua itu diperkirakan Belanda bisa mendapatkan untung sampai 2,4 juta gulden per tahun, sementara buruh perkebunan hanya dibayar sekitar 30 sen saja.
Masa lalu juga menyisakan cerita kepedihan. Daendels dianggap menjalankan kekuasaan tangan besi selama memerintah.
Apapun, zaman bergerak. Jawa yang tampak kini sungguh sangat berbeda dari Jawa 200 tahun silam. Jalan raya itu telah berubah menjadi salah satu urat nadi ekonomi, salah satu sumber perubahan di Jawa. Pembangunan infrastruktur baru, utamanya jalan, pastilah akan mendorong perubahan—terutama bagi wilayah dan penduduk yang dilewatinya.
Ketika semuanya bisa bergerak lebih cepat, rupa Jalan Raya Pos tak lagi sama dengan 200-an tahun silam. Demikian pula dengan lingkungan sosial dan ekonomi di sekitarnya. Jalan Raya Pos mengubah wajah perkotaan Jawa, menjadi saksi hidup dan matinya kota-kota yang dilaluinya. Jalan ibarat "penyedot" dan "penggelontor" sumberdaya dan energi lokal. Jalan juga menjadi pintu masuk melihat potret kehidupan yang tak banyak perbaikan. Ratusan hingga jutaan warga terbelit persoalan kemiskinan. Petani yang kehilangan tanah garapan, nelayan yang tidak lagi sanggup melayarkan kapal ke lautan.
Ekspedisi 200 Tahun Anjer-Panaroekan digagas Kompas untuk mengingatkan kembali bangsa ini tentang perjalanannya di masa lalu. Ekspedisi akan dimulai di Anyer pada 15 Agustus ini dan diakhiri di Panarukan 25 Agustus mendatang.
Jawa ibarat perahu sarat penumpang. Berdasarkan survei pemerintahan Raffles pada 1815, jumlah penduduk Jawa-Madura sebanyak 4.615.270 jiwa pada awal abad ke-19. Kini, penduduk Pulau Jawa telah melonjak menjadi sekitar 129,996 juta jiwa. Daya dukung Jawa tentu menjadi makin berat, bahkan pada tingkat mengkawatirkan. Krisis air bersih selalu menjadi hantu.
Jalan Daendels, Jalan Raya Pos, Jalan Anyer-Panarukan, atau apapun sebutannya adalah tonggak untuk belajar melihat ke dalam, menemukan kembali diri kita. Melihat diri lebih dalam, menarik pelajaran, dan menerawang perubahan yang mesti dilakukan di depan.
______________________
"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,
kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya.
Kalau dia tak mengenal sejarahnya.
Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,”
-Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-
Disadur dari kompas.com
~|| ah...kapan bisa ikut acara seperti ini...??
Monday, October 27, 2008
Ekspedisi Jalan Raya Daendells Ayer-Panarukan
Posted by ~||* Abay.Kun at 9:44 AM
Labels: Catatan perjalanan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
salam
saya agung
ayer panarukan, dari bogor lewat sukabumi atau cianjur?
ditunggu alasanya?
mungkin bisa berbagi.
Post a Comment